Gejala pertumbuhan Semarang sebagai kota raya semenjak orde baru dapat dilihat dalam dua hal yakni: Fragmentasi ruang -- atau terpecah-pecahnya perkembangan kota tanpa kendali -- dan pergeseran pusat kota dari utara (oude stad) ke selatan (Simpang lima). Secara ekonomi, Semarang memang menunjukkan laju pertumbuhan yang pesat, tetapi secara artefak memiliki masalah karena ada bagian-bagian kota yang dulu hidup sekarang mati.
Selama hampir dua dekade ini pertumbuhan Semarang telah berjalan dengan kecepatan yang maha dahsyat. Sehingga, dari wujud fisik telah melewati batas administratif dengan mencaplok desa dan kota-kota kecil di sekitarnya seperti Kali Banteng (di sebelah Timur Semarang) dan Ungaran (di sebelah Selatan Semarang). Dua puluh tahun yang lalu di sepanjang jalan antara Semarang dan Kali Banteng banyak terdapat tanah kosong yang dimanfaatkan sebagai sawah ataupun tegalan. Sekarang disepanjang jalan tadi dijumpai deretan toko yang tak putus-putusnya. Jelas gejala ini mengurangi produktifitas lahan pertanian karena perubahan fungsi.
Demikian pula sepanjang jalan antara Semarang dan Ungaran yang dulu berupa tanah persawahan. Sekarang hampir tiap jengkal tanah yang masih kosong telah disiapkan guna difungsikan baik sebagai tempat industri maupun sebagai area perumahan. Fungsi baru ini tentu saja memberi dampak berupa berkurangnya luas lahan terbuka yang mampu menyerap air. Akibatnya banjir di wilayah kota Semarang bagian bawah tidak pernah dapat dihindarkan lagi. Selain itu perkembangan ini juga menjadi indikasi bahwa Semarang benar-benar menjadi metropolis yang tumbuh tanpa kendali.
Bahkan fragmentsi ruang terjadi di bagian Utara kota yang berbatasan dengan laut Jawa. Tanah yang sebelumnya merupakan rawa dan tambak, sekarang menjadi area perumahan dan berbagai peruntukan lainnya. Walaupun dari kacamata pertumbuhan kota menunjukkan bahwa Semarang telah menjadi metropolis, namun fragmentasi ruang dengan area pemukiman maupun industri yang baru memberi akibat pada kerancuan perencanaan kota dan menimbulkan banyak sekali kesulitan di dalam mengambil keputusan dalam rangka pembangunan kota yang terpadu.
Selama hampir dua dekade ini pertumbuhan Semarang telah berjalan dengan kecepatan yang maha dahsyat. Sehingga, dari wujud fisik telah melewati batas administratif dengan mencaplok desa dan kota-kota kecil di sekitarnya seperti Kali Banteng (di sebelah Timur Semarang) dan Ungaran (di sebelah Selatan Semarang). Dua puluh tahun yang lalu di sepanjang jalan antara Semarang dan Kali Banteng banyak terdapat tanah kosong yang dimanfaatkan sebagai sawah ataupun tegalan. Sekarang disepanjang jalan tadi dijumpai deretan toko yang tak putus-putusnya. Jelas gejala ini mengurangi produktifitas lahan pertanian karena perubahan fungsi.
Demikian pula sepanjang jalan antara Semarang dan Ungaran yang dulu berupa tanah persawahan. Sekarang hampir tiap jengkal tanah yang masih kosong telah disiapkan guna difungsikan baik sebagai tempat industri maupun sebagai area perumahan. Fungsi baru ini tentu saja memberi dampak berupa berkurangnya luas lahan terbuka yang mampu menyerap air. Akibatnya banjir di wilayah kota Semarang bagian bawah tidak pernah dapat dihindarkan lagi. Selain itu perkembangan ini juga menjadi indikasi bahwa Semarang benar-benar menjadi metropolis yang tumbuh tanpa kendali.
Bahkan fragmentsi ruang terjadi di bagian Utara kota yang berbatasan dengan laut Jawa. Tanah yang sebelumnya merupakan rawa dan tambak, sekarang menjadi area perumahan dan berbagai peruntukan lainnya. Walaupun dari kacamata pertumbuhan kota menunjukkan bahwa Semarang telah menjadi metropolis, namun fragmentasi ruang dengan area pemukiman maupun industri yang baru memberi akibat pada kerancuan perencanaan kota dan menimbulkan banyak sekali kesulitan di dalam mengambil keputusan dalam rangka pembangunan kota yang terpadu.
Fenomena perubahan dari "pusat kota" menjadi daerah "pinggiran" atau peripheri tampak jelas di Semarang. Di jaman Belanda, pusat kota ini adalah oude stad yang dilengkapi dengan Gereja Blenduk, gedung bank dan perkantoran, setasiun Tawang dan stasiun sentral Jurnatan. Sekarang, beberapa bagian dari oude stad ini bisa disebut sebagai daerah pinggiran. Selain bangunan-bangunan kuno di situ banyak yang terbengkalai, daearah tersebut selalu mengalami banjir dan jalan-jalannya rusak. Ini yang membuat penduduk kota tidak ingin lagi tinggal disitu. Di malam hari, bagian tua kota Semarang yang mirip Amsterdam ini menjadi demikian sunyi dan menjadi tempat mangkalnya para penjaja cinta. Dilain pihak Simpang Lima yang dulu merupakan daerah pinggiran yang masih berupa rawa, sekarang menjadi ajang perebutan para investor untuk mendirikan bangunan-bangunan pusat perbelanjaan dan rekreasi. Sayangnya, pusat-pusat kota yang baru tidak pernah direncanakan secara kontekstual dengan oude stad tadi sehingga oude stad tertinggal merana. Tanpa dedikasi yang tinggi untuk menanam investasi disini tampaknya sangat mustahil usaha menghidupkan kota lama ini. Sementara itu kerusakan demi kerusakan yang melanda bangunan dan infrastruktur disitu tak dapat dicegah lagi. Mampukah Pembangunan yang menggelora ini menyelamatkan oude stad dari kematian yang berkepanjangan? Sejarah kota akan berakhir dan bahkan menjadi mati manakala interaksi ekonomi melemah dan kemudian menghilang walaupun tatanan fisik tadi masih tetap utuh seperti sediakala.
No comments:
Post a Comment