Sejalan dengan booming ekonomi tadi, pertumbuhan kota dan permasalahan urbannya membuat sistem pemerintahan yang tersentralisasi di Batavia tidak dapat lagi dipakai untuk mengelola kota terutama dengan munculnya masalah-masalah perumahan dan infrastruktur. Untuk merespon permasalahan ini di tahun 1903 pemerintah kolonial Belanda mengumumkan sistem management kota yang terdesentralisasi dari pusat kekuasaan di Batavia. Didalam sistem yang baru ini, kota-kota besar diijinkan untuk mengelola administrasi, kekuasaan serta finansial melalui sebuah dewan kota yang otonom dari pemerintah pusat. Tiga tahun kemudian, atau tepatnya tahun 1906 sistem desentralisasi ini berlaku di Semarang.
Pertumbuhan yang sporadis semenjak booming ekonomi di akhir abad lalu membuat Semarang menjadi padat penduduknya. Sejalan dengan arus urbanisasi, muncul pula daerah-daerah kumuh. Di perkampungan di sekitar Kanjengan (rumah bupati) termasuk Pecinan misalnya, kepadatan penduduk mencapai 1000 orang / Ha. Hal ini mengakibatkan lingkungan tidak sehat dan muncul berbagai macam penyakit seperti kolera dan tuberkulose dengan tingkat kematian mencapai 64,3/ 1000 jiwa. Bahkan seorang apoteker, Tilema, menggambarkan bahwa tingkat kematian di kota ini lebih tinggi dari pada tingkat kematian di negara manapun di Eropa pada waktu itu.
Dengan adanya sistem desentralisasi ini, maka dewan kota lebih leluasa didalam mengelola Semarang. Langkah pertama yang diambil adalah mengurangi jumlah penduduk di pusat kota yang sudah tidak layak huni lagi. Alternatif pertama adalah pengembangan ke arah utara mendekati pantai. Namun karena daerah ini penuh dengan rawa yang selain dipergunakan untuk menampung air hujan juga merupakan daerah yang tidak sehat, maka dewan kota memutuskan untuk mengembangkan kota ke arah perbukitan dengan menggusur pekuburan Tionghoa. Rancangan kota baru ini baru tercapai setelah seorang arsitek muda Thomas Karsten mengemukakan rancangannya. Setelah dibangun daerah tadi disebut sebagai Candi baru.
No comments:
Post a Comment