Palangkaraya
Citynodes ada lah sebuah website yang mengulas simpul kota secara mendetail. Bermula
dari tempat pertemuan sekelompok orang dengan orang lainnya untuk bertukar
barang-barang kebutuhan sehari-hari. Lama kelamaan tempat ini tumbuh menjadi
permukiman yang ramai dikunjungi orang dan menjadi sebuah kota. Selanjutnya didalam
kota muncul berbagai macam simpul atau “node” di mana orang berinteraksi baik untuk
kebutuhan ekonomi ataupun kebutuhan sosial.
Kota-kota
di Indonesia juga tumbuh sebagai tempat barter seperti diatas. Di semua
pertigaan jalan selalu timbul kegiatan ekonomi. Jika suatu tempat adalah titik
persimpangan ke berbagai permukiman maka tempat ini akan menjadi kota yang
besar. Di pulau Jawa titik simpul (nodes) bisa
berada di dekat pantai dimana ada kapal dari luar pulau datang untuk
berdagang. Kapal-kapal dari Tiongkok selama berabad-abad yang lalu berlabuh di
sebuah titik simpul untuk berdagang, menjual keramik ataupun sutera dan membeli
beras untuk dibawa ke Tiongkok untuk di jual. Di titik simpul tersebut terdapat
sungai yang menghubungkan kedaerah pedalaman. Karena waktu itu kapal-kapal
berusaha berlabuh didaerah yang tenang, maka pelabuhan terletak masuk kedalam
sungai atau muara sungai. Demikian pula
dengan titik simpul yang berada di pedalaman pulau, titik ini berada di
pertigaan atau perempatan jalan, disini akan tumbuh pasar dan permukiman para
pedagang dan akhirnya menjadi kota.
Tetapi
jangan lupa, tumbuhnya titik simpul menjadi kota sangat ditentukan oleh suasana
politik yang menguntungkan pertumbuhan. Tidak jarang suatu wilayah yang dulunya
adalah hutan dibangun kerajaan yang kemudian menjadi kota. Yogyakarta misalnya,
dulu adalah hutan Mentaok yang kemudian dibangun kota. Timbul pertanyaan,
apakah sebelum dibangun istana raja, di tempat itu sudah ada jalan yang
menghubungkan antar permukiman? Yang jelas ketika istana di Yogyakarta belum
jadi, Pangeran Mangkubumi, pendiri keraton Yogyakarta, tinggal di Gamping yang
terletak di sebelah barat Yogyakarta. Berarti di Gamping sudah ada permukiman, tetapi
data-data tentang kenyataan ini sulit didapat.
Karena
berada di pedalaman bagian selatan Pulau Jawa perhubungan antara Yogyakarta dengan
Tiongkok dan dunia di luar pulau Jawa pada waktu itu melalui daerah pesisir
utara. Maka dari Yogyakarta dan Surakarta harus ada jalan yang menghubungkan ke
titik simpul di Pantai Utara Jawa seperti kota Semarang sebagai jalur
perdagangan. Di Semarang sampai sekarang masih ada jalan utama ke Selatan,
Kerajaan Mataram, yang dinamai jalan Mataram.
Semarang
sebagai titik simpul kota dagang berkembang menjadi kota yang lebih besar dari pada
Yogyakarta. Disini terdapat pasar yang dijaman kolonial dulu disebut Pasar
sentral, pecinan dengan 13 kelenteng, stasiun kereta api pertama di Pulau Jawa,
dan pernah diadakan pameran dagang Koloniale Tentoonstelling yang di ikuti negara-negara
di seluruh dunia. Semarang sebagai titik simpul perdagangan antara kota-kota
diluar Jawa dan berbagai tempat di
pedalaman Pulau Jawa telah berkembang menjadi kota yang besar. Tetapi secara
politis setelah kemerdekaan Indonesia ibukota negara berada di Jakarta dan
semua pembangunan di fokuskan kesana, Semarang menjadi daerah belakang Jakarta dan
hanya menjadi kota terbesar ketiga setelah Surabaya.
Lain
halnya dengan Pulau Kalimantan. Karena di pulau ini terdapat banyak sungai besar,
perhubungan adalah melalui sungai. Pada pertemuan antara dua sungai, yaitu
sungai utama dan anak sungainya disitu akan tumbuh titik simpul perdagangan
yang akhirnya menjadi kota. Di Kalimantan Tengah misalnya, kota-kotanya berada
di pedalaman oleh karena itu hubungan perdagangan dengan dunia diluar pulau
berada disungai. Para pedagang yang datang ke Pulau ini biasanya berasal dari
Jawa dan Sumatra. Mereka datang dengan kapal dari laut terus menelusuri sungai
dan berhenti pada titik simpul
perdagangan yang jaraknya puluhan bahkan ratusan kilometer dari garis pantai. Kota-kota
tadi misalnya Sukamara, Pangkalan Bun, Sampit, Seruyan, Puruk Cahu, Buntok,
Muara Teweh, dan Kuala Kapuas yang semuanya berada dipedalaman dengan pelabuhan
sungai. Tetapi Kota Palangkaraya, seperti halnya kota Yogyakarta di Pulau Jawa,
tumbuh secara politis, karena kota ini didirikan sebagai ibukota Provinsi
Kalimantan Tengah, karena terletak benar-benar di di tengah-tengah Provinsi Kalimantan
Tengah. Dulunya Palangkaraya hanya dusun kecil yang bernama Pahandut.
Demikian
pula dengan kota Batam. Kota di atas pulau Batam ini dulunya adalah permukiman
kecil yang hanya dihuni oleh beberapa nelayan. Kota Batam didirikan pada tahun
1980 an untuk menyaingi Singapur karena jaraknya hanya beberapa kilometer.
Memang akhirnya Batam menjadi kota yang kumuh, tetapi permukiman nelayan ini
telah berkembang menjadi kota besar yang mampu menarik orang dari Pulau Jawa
untuk mengadu nasib. Pulau kecil ini kemudian di lengkapi dengan pelabuhan
laut, bandaran udara, permukiman mewah, mall, perkotan yang semuanya menjadi
simpul-simpul (nodes) di dalam kota yang terus berkembang.
Dari
uraian diatas, baik kota yang berkembang
alami atau dibangun secara politis, semuanya merupakan permukiman yang
mula-mula kecil kemudian berkembang menjadi kota. Didalamnya terdiri dari
berbagai simpul yang kemudian memacu kehidupan kota. Titik simpul itu adalah pecinan, artefak, kelenteng, pasar, tempat pameran, stasiun kereta api yang
semuanya itu kemudian berhubungan dengan kota pusaka dan kota cerdas. Poin-poin
ini kemudian kami angkat menjadi menu website “citynode” karena mereka adalah
titik simpul yang menggerakkan kota. Tidak lupa kami juga menghadirkan menu
buku yang berisi tentang buku Ruang dan Peristiwa: Arsitektur Tionghoa Dalam
Konteks Jawa. Orang biasanya membicarakan arsitektur Tionghoa di Tiongkok. Tetapi
kami menampilkan tulisan Dr. Pratiwo tentang arsitektur Tionghoa di Jawa karena
dalam tulisan ini banyak terungkap titik-titik simpul yang sangat relevan
dengan tujuan di bukanya website citynode.
Akhir
kata selamat menikmati tulisan-tulisan di website ini.
No comments:
Post a Comment