Sunday, August 23, 2015

Citynodes Simpul Kota

Palangkaraya

Citynodes ada lah sebuah website yang mengulas simpul kota secara mendetail. Bermula dari tempat pertemuan sekelompok orang dengan orang lainnya untuk bertukar barang-barang kebutuhan sehari-hari. Lama kelamaan tempat ini tumbuh menjadi permukiman yang ramai dikunjungi orang dan menjadi sebuah kota. Selanjutnya didalam kota muncul berbagai macam simpul atau “node” di mana orang berinteraksi baik untuk kebutuhan ekonomi ataupun kebutuhan sosial.

Kota-kota di Indonesia juga tumbuh sebagai tempat barter seperti diatas. Di semua pertigaan jalan selalu timbul kegiatan ekonomi. Jika suatu tempat adalah titik persimpangan ke berbagai permukiman maka tempat ini akan menjadi kota yang besar. Di pulau Jawa titik simpul (nodes) bisa  berada di dekat pantai dimana ada kapal dari luar pulau datang untuk berdagang. Kapal-kapal dari Tiongkok selama berabad-abad yang lalu berlabuh di sebuah titik simpul untuk berdagang, menjual keramik ataupun sutera dan membeli beras untuk dibawa ke Tiongkok untuk di jual. Di titik simpul tersebut terdapat sungai yang menghubungkan kedaerah pedalaman. Karena waktu itu kapal-kapal berusaha berlabuh didaerah yang tenang, maka pelabuhan terletak masuk kedalam sungai atau muara sungai.  Demikian pula dengan titik simpul yang berada di pedalaman pulau, titik ini berada di pertigaan atau perempatan jalan, disini akan tumbuh pasar dan permukiman para pedagang dan akhirnya menjadi kota.

Tetapi jangan lupa, tumbuhnya titik simpul menjadi kota sangat ditentukan oleh suasana politik yang menguntungkan pertumbuhan. Tidak jarang suatu wilayah yang dulunya adalah hutan dibangun kerajaan yang kemudian menjadi kota. Yogyakarta misalnya, dulu adalah hutan Mentaok yang kemudian dibangun kota. Timbul pertanyaan, apakah sebelum dibangun istana raja, di tempat itu sudah ada jalan yang menghubungkan antar permukiman? Yang jelas ketika istana di Yogyakarta belum jadi, Pangeran Mangkubumi, pendiri keraton Yogyakarta, tinggal di Gamping yang terletak di sebelah barat Yogyakarta. Berarti di Gamping sudah ada permukiman, tetapi data-data tentang kenyataan ini sulit didapat.

Karena berada di pedalaman bagian selatan Pulau Jawa perhubungan antara Yogyakarta dengan Tiongkok dan dunia di luar pulau Jawa pada waktu itu melalui daerah pesisir utara. Maka dari Yogyakarta dan Surakarta harus ada jalan yang menghubungkan ke titik simpul di Pantai Utara Jawa seperti kota Semarang sebagai jalur perdagangan. Di Semarang sampai sekarang masih ada jalan utama ke Selatan, Kerajaan Mataram, yang dinamai jalan Mataram.

Semarang sebagai titik simpul kota dagang berkembang menjadi kota yang lebih besar dari pada Yogyakarta. Disini terdapat pasar yang dijaman kolonial dulu disebut Pasar sentral, pecinan dengan 13 kelenteng, stasiun kereta api pertama di Pulau Jawa, dan pernah diadakan pameran dagang Koloniale Tentoonstelling yang di ikuti negara-negara di seluruh dunia. Semarang sebagai titik simpul perdagangan antara kota-kota diluar Jawa dan  berbagai tempat di pedalaman Pulau Jawa telah berkembang menjadi kota yang besar. Tetapi secara politis setelah kemerdekaan Indonesia ibukota negara berada di Jakarta dan semua pembangunan di fokuskan kesana, Semarang menjadi daerah belakang Jakarta dan hanya menjadi kota terbesar ketiga setelah Surabaya.    

Lain halnya dengan Pulau Kalimantan. Karena di pulau ini terdapat banyak sungai besar, perhubungan adalah melalui sungai. Pada pertemuan antara dua sungai, yaitu sungai utama dan anak sungainya disitu akan tumbuh titik simpul perdagangan yang akhirnya menjadi kota. Di Kalimantan Tengah misalnya, kota-kotanya berada di pedalaman oleh karena itu hubungan perdagangan dengan dunia diluar pulau berada disungai. Para pedagang yang datang ke Pulau ini biasanya berasal dari Jawa dan Sumatra. Mereka datang dengan kapal dari laut terus menelusuri sungai dan berhenti  pada titik simpul perdagangan yang jaraknya puluhan bahkan ratusan kilometer dari garis pantai. Kota-kota tadi misalnya Sukamara, Pangkalan Bun, Sampit, Seruyan, Puruk Cahu, Buntok, Muara Teweh, dan Kuala Kapuas yang semuanya berada dipedalaman dengan pelabuhan sungai. Tetapi Kota Palangkaraya, seperti halnya kota Yogyakarta di Pulau Jawa, tumbuh secara politis, karena kota ini didirikan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, karena terletak benar-benar di di tengah-tengah Provinsi Kalimantan Tengah. Dulunya Palangkaraya hanya dusun kecil yang bernama Pahandut.

Demikian pula dengan kota Batam. Kota di atas pulau Batam ini dulunya adalah permukiman kecil yang hanya dihuni oleh beberapa nelayan. Kota Batam didirikan pada tahun 1980 an untuk menyaingi Singapur karena jaraknya hanya beberapa kilometer. Memang akhirnya Batam menjadi kota yang kumuh, tetapi permukiman nelayan ini telah berkembang menjadi kota besar yang mampu menarik orang dari Pulau Jawa untuk mengadu nasib. Pulau kecil ini kemudian di lengkapi dengan pelabuhan laut, bandaran udara, permukiman mewah, mall, perkotan yang semuanya menjadi simpul-simpul (nodes) di dalam kota yang terus berkembang.

Dari uraian diatas, baik kota yang  berkembang alami atau dibangun secara politis, semuanya merupakan permukiman yang mula-mula kecil kemudian berkembang menjadi kota. Didalamnya terdiri dari berbagai simpul yang kemudian memacu kehidupan kota. Titik simpul itu adalah  pecinan, artefak, kelenteng, pasar,  tempat pameran, stasiun kereta api yang semuanya itu kemudian berhubungan dengan kota pusaka dan kota cerdas. Poin-poin ini kemudian kami angkat menjadi menu website “citynode” karena mereka adalah titik simpul yang menggerakkan kota. Tidak lupa kami juga menghadirkan menu buku yang berisi tentang buku Ruang dan Peristiwa: Arsitektur Tionghoa Dalam Konteks Jawa. Orang biasanya membicarakan arsitektur Tionghoa di Tiongkok. Tetapi kami menampilkan tulisan Dr. Pratiwo tentang arsitektur Tionghoa di Jawa karena dalam tulisan ini banyak terungkap titik-titik simpul yang sangat relevan dengan tujuan di bukanya website citynode.

Akhir kata selamat menikmati tulisan-tulisan di website ini.    

No comments:

Post a Comment