Monday, February 9, 2015

Sejarah Terputus-putus

Siswa-siswa SLTA tentu akan bertanya-tanya jika melihat gambar-gambar Kanjengan dan Alun-alun Semarang pada tahun 1950-an. Bagi anak-anak muda itu, memahami posisi keraton dan alun-alun sama-sama sulit dengan memahami lokasi keraton Majapahit.

Anehnya, setiap tahun kita selalu memperingati hari jadi kota yang dikaitkan dengan penobatan Ki Ageng Pandanaran II sebagai Bupati Semarang. Sekarang, keraton itu telah lenyap ditelan bumi.

Mungkin satu abad lagi, anak cucu kita akan melemparkan polemik tentang letak keraton dan alun-alun di Semarang. Atau, mereka akan mendiskusikan hipotesis tentang pusat berbagai kota lama lain yang sirna.

Dapatkah anak cucu kita membuktikan daerah Pasar Johar dulu adalah keraton dan alun-alun? Dapatkah anak cucu kita menemukan Gedung Societeit Harmoni Jakarta yang sudah menjadi jalan?

Kota terbentuk melalui elemen primer, yang bisa berupa keraton, alun-alun, atau bangunan penting lain. Alun-alun sebagai suatu ruang publik memiliki makna sebagai urban core, yang dikelilingi bangunan-bangunan penting.

Bila alun-alun yang dipercaya selalu ada di setiap keraton dan kota di Jawa tiba-tiba hilang, tentu akan menimbulkan pertanyaan dan debat yang seru. Mengubah elemen primer berarti mengubah bentuk kota dan artifak sejarah kota.

Apakah kita pernah berpikir, dalam beberapa tahun lagi tatkala lahan untuk bangunan perdagangan menyempit, ada pengusaha yang diizinkan gubernur dan wali kota untuk membangun pusat perbelanjaan besar supermodern di tengah-tengah lapangan Monas, Jakarta, atau Simpanglima, Semarang.

Harus diakui, lapangan Monas dan Simpanglima merupakan tempat paling strategis untuk membangun central business district di Jakarta atau Semarang. Semua itu tergantung pada kekuatan negosiasi pengusaha dan tingkat kepedulian penguasa kota akan betapa perlu ruang terbuka di tengah kota.

Sedangkan rakyat kota, seperti pada zaman kerajaan-kerajaan, sudah pasti bungkam. Karena, kota dikuasai oleh pejabat-pejabat tertentu, sebagaimana raja-raja pada zaman dulu.

Jika Alun-alun Semarang yang memiliki nilai magis bagi masyarakat kota pada waktu itu bisa dijual, apalagi lapangan Monas atau lapangan Simpanglima yang tidak memiliki makna simbolis, Kalau melihat para penguasa kota makin pragmatis dalam merencanakan dan membangun kota, pada masa mendatang kemungkinan itu bisa saja terjadi.


No comments:

Post a Comment