Sejarah Semarang dimulai dengan keberadaannya sebagai tempat perdagangan antara penduduk pribumi dan pedagang dari Tiongkok di pinggir Kali Semarang, tepatnya pasar Pedamaran. Sebagai tempat yang strategis bagi expansi militer VOC, maka Belanda yang menguasai kota ini sejak awal abad 17 mendirikan bentengnya di Sleko di akhir abad yang sama. Mereka menyelenggarakan satu kota praja kecil di dalam benteng tadi. Di dalam perjalanan sejarahnya, kota yang bermula dari pemukiman kecil di sepanjang kali Semarang ini sekarang telah berubah menjadi satu kota besar dengan gedung-gedung modern dan pusat-pusat kota yang tidak lagi di pinggiran sungai tetapi melebar melampaui batas pandang penduduknya.
Dalam konteks fungsinya sebagai simpul perekonomian, pertumbuhan Semarang yang pesat sebenarnya sudah dimulai sejak pertengahan abad ke 19, yakni pada saat terusan Suez dibuka tahun 1869. Pembukaan terusan ini memberikan dampak percepatan hubungan perdagangan antara benua Asia dan Eropa yang mana tidak perlu lagi melalui semenanjung harapan di Afrika Selatan. Menanggapi angin baik ini pemerintah Kolonial selain menghapus sistem kultur Stelsel yang tidak menguntungkan itu juga mengijinkan pengusaha yang bukan kulit putih untuk membuka usaha perkebunan. Di Semarang muncul pengusaha perkebunan termaysur Oei Tiong Ham. Perubahan kebijakan dibidang perkebunan yang sebelumnya dimonopoli oleh orang Belanda ini memberikan booming ekonomi yang menjadi-jadi. Kota Semarang menjadi sangat terbuka bagi lapangan kerja baru yang modern sejalan dengan dibangunnya perkantoran di oude stad (kota lama). Senada dengan pertumbuhan ini jalan-jalan baru dibuka dimana satu jalan terpenting yang menghubungkan bagian barat dan timur kota di buka di tahun 1901. Jalan ini dinamai Pieter-Sythoff-Laan atau yang sekarang dikenal sebagai jalan Pandanaran. Jalan ini sangat penting bagi pembentukan kota Semarang masa kini dengan Simpang Limanya.
Dalam konteks fungsinya sebagai simpul perekonomian, pertumbuhan Semarang yang pesat sebenarnya sudah dimulai sejak pertengahan abad ke 19, yakni pada saat terusan Suez dibuka tahun 1869. Pembukaan terusan ini memberikan dampak percepatan hubungan perdagangan antara benua Asia dan Eropa yang mana tidak perlu lagi melalui semenanjung harapan di Afrika Selatan. Menanggapi angin baik ini pemerintah Kolonial selain menghapus sistem kultur Stelsel yang tidak menguntungkan itu juga mengijinkan pengusaha yang bukan kulit putih untuk membuka usaha perkebunan. Di Semarang muncul pengusaha perkebunan termaysur Oei Tiong Ham. Perubahan kebijakan dibidang perkebunan yang sebelumnya dimonopoli oleh orang Belanda ini memberikan booming ekonomi yang menjadi-jadi. Kota Semarang menjadi sangat terbuka bagi lapangan kerja baru yang modern sejalan dengan dibangunnya perkantoran di oude stad (kota lama). Senada dengan pertumbuhan ini jalan-jalan baru dibuka dimana satu jalan terpenting yang menghubungkan bagian barat dan timur kota di buka di tahun 1901. Jalan ini dinamai Pieter-Sythoff-Laan atau yang sekarang dikenal sebagai jalan Pandanaran. Jalan ini sangat penting bagi pembentukan kota Semarang masa kini dengan Simpang Limanya.
No comments:
Post a Comment