Dan jika kota dipandang sebagai kumpulan bangunan, bagaikan bangunan yang terdiri dari kumpulan batu-bata atau material lainnya, maka bangunan dapat dianggap sebagai generator aktifitas kehidupan kota. Setiap bangunan memiliki kehidupan dan peran tersendiri terhadap dinamika kota. Baik bangunan yang mewadahi kehidupan pasif seperti gudang ataupun kehidupan yang sangat aktif seperti pasar. Dinamika kota terletak pada kehidupan tiap-tiap bangunannya. Bangunan pertokoan memiliki peran terhadap dinamika kota dari jam 08.00 sampai jam 21.00. Namun bangunan perkantoran hanya mampu memberi peran dari jam 08.00 sampai jam 16.00 saja.
Sehingga terlepas dari soal pariwisata, selain tidak serasi dengan fungsi ibadah gereja Blenduk, pengadaan hiburan malam disitu tidak akan semeriah pengadaan hiburan malam serupa di Simpang-lima. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dinamika kegiatan bangunan-bangunan di kedua tempat ini. Di seputar Simpang-lima terdapat bangunan-bangunan seperti pertokoan, gedung bioskop, hotel yang semakin semarak kala matahari mulai tenggelam.
Sebaliknya Jalan Letjen Soeprapto di malam hari bangunan-bangunan di situ mulai tertidur, karena kegiatan perkantoran yang sudah berhenti, dengan demikian suasananyapun menjadi kurang meriah. Apalagi tidak setiap orang menyenangi pentas-pentas terbuka yang memberi peluang bagi para pencopet untuk beroperasi. Bukan karena hiburan malam yang membuat kota lama Semarang menarik, tetapi penataan kembali wajah jalan dan bangunan kuno di situ sehingga mampu meningkatkan kwalitalis tata ruang kota, itulah yang menarik.
Lingkungan gereja Blenduk yang bersih dan indah serta tidak gelap di malam hari sudah merupakan daya tarik tersendiri. Di dalam suasana malam yang terang oleh lampu jalan namun sepi, kiranya para kupu-kupu malampun akan lebih mudah dirazia dari pada di dalam suasana yang ramai seperti di Simpang-Lima. Mengingat bangunan-bangunan di sepanjang jalan Letjen Soeprapto adalah perkantoran, tentunya suasana lengang di malam hari adalah hal yang wajar.
Konservasi bangunan kuno di kota lama sudah saatnya untuk dilaksanakan. Baik dalam rangka peningkatan kwalitas tata ruang kota bagi warga Semarang, atau-pun sebagai cikal bakal pariwisata. Tetapi program-program pendukung pendanaan yang konon berpola subsidi silang perlu dipikirkan lagi sehingga tidak merusak makna peningkatan kwalitas tata ruang kota melalui konservasi bangunan-bangunan kunonya. Kata konservasi sendiri memang bukan berarti pelestarlan yang pasif, namun juga bukan berarti kedinamisan yang berlebih-lebihan sehingga tidak realistis lagi.
Sehingga terlepas dari soal pariwisata, selain tidak serasi dengan fungsi ibadah gereja Blenduk, pengadaan hiburan malam disitu tidak akan semeriah pengadaan hiburan malam serupa di Simpang-lima. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dinamika kegiatan bangunan-bangunan di kedua tempat ini. Di seputar Simpang-lima terdapat bangunan-bangunan seperti pertokoan, gedung bioskop, hotel yang semakin semarak kala matahari mulai tenggelam.
Sebaliknya Jalan Letjen Soeprapto di malam hari bangunan-bangunan di situ mulai tertidur, karena kegiatan perkantoran yang sudah berhenti, dengan demikian suasananyapun menjadi kurang meriah. Apalagi tidak setiap orang menyenangi pentas-pentas terbuka yang memberi peluang bagi para pencopet untuk beroperasi. Bukan karena hiburan malam yang membuat kota lama Semarang menarik, tetapi penataan kembali wajah jalan dan bangunan kuno di situ sehingga mampu meningkatkan kwalitalis tata ruang kota, itulah yang menarik.
Lingkungan gereja Blenduk yang bersih dan indah serta tidak gelap di malam hari sudah merupakan daya tarik tersendiri. Di dalam suasana malam yang terang oleh lampu jalan namun sepi, kiranya para kupu-kupu malampun akan lebih mudah dirazia dari pada di dalam suasana yang ramai seperti di Simpang-Lima. Mengingat bangunan-bangunan di sepanjang jalan Letjen Soeprapto adalah perkantoran, tentunya suasana lengang di malam hari adalah hal yang wajar.
Konservasi bangunan kuno di kota lama sudah saatnya untuk dilaksanakan. Baik dalam rangka peningkatan kwalitas tata ruang kota bagi warga Semarang, atau-pun sebagai cikal bakal pariwisata. Tetapi program-program pendukung pendanaan yang konon berpola subsidi silang perlu dipikirkan lagi sehingga tidak merusak makna peningkatan kwalitas tata ruang kota melalui konservasi bangunan-bangunan kunonya. Kata konservasi sendiri memang bukan berarti pelestarlan yang pasif, namun juga bukan berarti kedinamisan yang berlebih-lebihan sehingga tidak realistis lagi.
Gereja Blenduk
No comments:
Post a Comment