Monday, February 9, 2015

Koloniale Tentoonstelling


Semarang memang bukan main! Sedini tahun 1914 di kota pantai ini telah diadakan Pameran produksi yang luar biasa besarnya menurut ukuran pada waktu itu. Pameran ini disebut sebagai Algemeene Koloniale Tentoonstelling te Semarang. Pintu utama ke arena Tentoonstelling (pameran) nya menggunakan portal baja yang megah dengan dikelilingi bangunan yang didisain secara khusus oleh Maclain Pont. Pameran ini berusaha menunjukkan bahwa Hindia Belanda pada waktu tidak kalah hebat dengan Negeri Belanda sebagai Induknya. Tentu saja di arena pameran ini bukan hanya hasil produksi yang dikuasai oleh kulit putih tetapi juga kerajinan tangan hasil karya Bumi Putra yang sangat membanggakan. Tidak kurang beberapa negara asing ikut berpartisipasi seperti misalnya Jepang, Formosa, Cina, Perancis, Amerika serikat, British India, Indocina dan Australia. Letak dari Tentoonstelling ini adalah di Mugas yang mana di latarbelakangi oleh perbukitan rendah. Untuk memudahkan transportasi ke kota Semarang yang waktu itu masih ada di sekitar oude stad, pihak kota praja membangun sebuah jalur tram yang khusus untuk mencapai tempat ini. Yang menarik dari pameran internasional ini adalah rasa bangga dari warga kota -- yang tentunya dikuasai oleh warga kulit putih -- akan seni budaya Jawa sehingga poster pamerannya secara jelas bergambar seorang gadis Jawa yang memakai pakaian wayang orang.

Sayangnya, pameran internasional yang menempati 26 ha lahan ini telah hilang dari sejarah Semarang sendiri. Didalam catatan sejarah kota yang diperingati setiap tahunnya, tidak pernah menyebutkan pameran internasional yang meraksasa ini. Menurut buku laporan tentang Koloniale Tentoonstelling ini yang penulis temukan di Koninklijk Instituut voor de Tropen di Amsterdam, pameran ini menunjukkan bahwa pemikiran modernitas sebenarnya datang lebih awal ke Semarang dari pada ke Batavia yang sekarang disebut Jakarta. Semarang terlebih dahulu menjadi satu Metropolis dalam arti kegiatan perkotaannya. Bahkan para arsitek muda yang datang dari Belanda, seperti Maclain Pont dan Thomas Karsten, lebih memilih Semarang untuk membuka kantornya dari pada di Batavia. Kini dengan sistem pemerintahan yang kembali tersentralisasi di Jakarta tentu saja Semarang sebagai kota di "daerah" banyak kehilangan fungsi-fungsi yang bersifat internasional. Konsulat dan kantor dagang asing sudah tidak ada lagi dikota ini. Walaupun jika dilihat dari jumlah penduduk dan wilayah pemekaran kotanya, sekarang Semarang dengan jumlah penduduk hampir dua juta jauh lebih gigantis dari pada Semarang ditahun 1914, tetapi toh kota ini menjadi semacam hinterland (daerah belankang) nya Jakarta.

 
Koloniale Tentoonstelling

Semarang pada waktu itu menjadi besar karena ia mampu menjadi pusat pemasaran dari produk hasil bumi dari hinterland yang demikian makmur. Pengaruh perdagangan ini sungguh tidak bisa dibatasi oleh batas-batas administrasi di sekitar Kanjengan, Pecinan  dan oude stad, tetapi telah menjamah daerah-daerah lain seperti Jomblang dan Bulu yang kemudian menyatu menjadi sebuah kota besar. Sungguh tidak mungkin kalau kita mengenal Semarang hanya sebagai kota Belanda saja, justru desa dan kampung disekitarnya yang padat oleh penduduk pribumi dan para pendatang dari Asia lainnya yang mendorong laju perkembangan tadi. Bila sebuah kota sukses didalam fungsinya sebagai pusat transaksi ekonomi dan jasa pelayanan, maka kota tadi akan mulai berkembang dengan jumlah penduduk dan luasan ruangnya. Maka dari itu semua kota yang dinamis selalu menginvasi daerah disekitarnya sebagaimana Semarang yang dikembangkan dari 9 kecamatan menjadi 11 kecamatan ditahun 1976 dan beberapa tahun kemudian berkembang menjadi 16 Kecamatan.

No comments:

Post a Comment