Benarkah program konservasi bangunan kuno di Semarang perlu di dukung hiburan malam, yang mana satu usulan yang ideal berupa pembangunan sebuah plaza di depan gereja Blenduk? Merupakan pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan. Karena konservasi bangunan kuno selama ini mengandung dua interpretasl, antara menjawab kebutuhan pengembangan pariwisata, dan menjawab kebutuhan masyarakat akan tataruang kota yang tidak hanya indah namun juga memiliki nilai bistorts kesinambungan antara masa lalu dan sekarang.
Memang satu kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi bahwa terjadinya pergerakan manusia di atas bumi untuk berwisata tidak hanya untuk melihat pemandangan alam yang tidak ada di daerah asalnya, atau menyaksikan karya arsitektur yang masterpiece. Tetapi juga mencari hiburan baik yang positif berupa menyaksikan pertunjukan kesenian, olah raga sampai hiburan-hiburan malam seperti judi dan pelacuran.
Walaupun demikian, masih banyak wisatawan yang memilih suasana tenang, keindahan visual baik yang alami ataupun buatan (karya arsitektur), dari pada sua-sana yang hiruk-pikuk. Wisatawan asing di pulau Bali ada yang memilih pantai Legian dari pada pantai Kuta yang sudah terlalu ramai dengan disko, rumah makan ala barat yang membuat kawasan ini berwajahkan 'barat di bumi timur'. Dari sini dapat disimpulkan bahwa untuk membuat menarik untuk dikunjungi wisatawan, satu daerah pariwisata tidak harus 'Full of amusement' (penuh dengan aneka hiburan).
Masalah tanpa keharusan akan 'Full of amusement' ini sangat jelas terlihat di Yogyakarta. Membanjirnya wisatawan asing di sana misalnya, bukan karena tersedianya rupa-rupa hiburan, tetapi karena di kota ini terdapat Kraton Nyayogyakarta-Hadiningrat lengkap dengan segala bentuk kebudayaannya, serta kompleks bangunan tradisional Kotagede, pantai Parangteritis, dan candi-candi terkenal di sekitarnya. Pada acara Sekatenanpun wisatawan asing mengunjungi Alun-alun utara bukan untuk melihat orkes dhangdhut, stand bolang-baling, ataupun arena 'tong-setan'. Melainkan justru datang ke sana untuk menyaksikan upacara tradisional yang unik, pasukan Kraton yang warna-warni, sehingga memperkaya pengetahuan mereka akan kebesaran bangsa Indonesia.
Dan yang tidak kalah menarik untuk dipertanyakan adalah, mana yang ada lebih dulu di Yogyakarta, wisatawan asing atau fasilitas-fasilitas pariwisata seperti toko-toko souvenir, hotel-hotel berbintang. Jawabnya tentu wisatawan asing ada lebih dulu, sehingga menimbulkan daya tarik penanaman modal guna mendirikan berbagai macam fasilitas pariwisata. Dari dialog ini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa Yogyakarta dan sekitarnya sudah menarik bagi wisatawan asing kendati tanpa fasilitas pariwisata, bahkan yang 'Full of amusement' sekalipun.
Memang satu kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi bahwa terjadinya pergerakan manusia di atas bumi untuk berwisata tidak hanya untuk melihat pemandangan alam yang tidak ada di daerah asalnya, atau menyaksikan karya arsitektur yang masterpiece. Tetapi juga mencari hiburan baik yang positif berupa menyaksikan pertunjukan kesenian, olah raga sampai hiburan-hiburan malam seperti judi dan pelacuran.
Walaupun demikian, masih banyak wisatawan yang memilih suasana tenang, keindahan visual baik yang alami ataupun buatan (karya arsitektur), dari pada sua-sana yang hiruk-pikuk. Wisatawan asing di pulau Bali ada yang memilih pantai Legian dari pada pantai Kuta yang sudah terlalu ramai dengan disko, rumah makan ala barat yang membuat kawasan ini berwajahkan 'barat di bumi timur'. Dari sini dapat disimpulkan bahwa untuk membuat menarik untuk dikunjungi wisatawan, satu daerah pariwisata tidak harus 'Full of amusement' (penuh dengan aneka hiburan).
Masalah tanpa keharusan akan 'Full of amusement' ini sangat jelas terlihat di Yogyakarta. Membanjirnya wisatawan asing di sana misalnya, bukan karena tersedianya rupa-rupa hiburan, tetapi karena di kota ini terdapat Kraton Nyayogyakarta-Hadiningrat lengkap dengan segala bentuk kebudayaannya, serta kompleks bangunan tradisional Kotagede, pantai Parangteritis, dan candi-candi terkenal di sekitarnya. Pada acara Sekatenanpun wisatawan asing mengunjungi Alun-alun utara bukan untuk melihat orkes dhangdhut, stand bolang-baling, ataupun arena 'tong-setan'. Melainkan justru datang ke sana untuk menyaksikan upacara tradisional yang unik, pasukan Kraton yang warna-warni, sehingga memperkaya pengetahuan mereka akan kebesaran bangsa Indonesia.
Dan yang tidak kalah menarik untuk dipertanyakan adalah, mana yang ada lebih dulu di Yogyakarta, wisatawan asing atau fasilitas-fasilitas pariwisata seperti toko-toko souvenir, hotel-hotel berbintang. Jawabnya tentu wisatawan asing ada lebih dulu, sehingga menimbulkan daya tarik penanaman modal guna mendirikan berbagai macam fasilitas pariwisata. Dari dialog ini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa Yogyakarta dan sekitarnya sudah menarik bagi wisatawan asing kendati tanpa fasilitas pariwisata, bahkan yang 'Full of amusement' sekalipun.
Plaza Gereja Blenduk
No comments:
Post a Comment